Cari Blog Ini

Minggu, 15 Agustus 2010

Urgensi Ilmu Pemasaran dalam Ranah Politik

Kehidupan politik di Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan ‘trend’ yang terjadi di dunia global. Pasca reformasi, terdapat pergeseran yang sangat signifikan terhadap kehidupan berpolitik di Indonesia (Firmanzah, 2008).
Semangat emansipasi dan demokratisasi politik telah meningkatkan intensitas persaingan politik di Indonesia (Firmanzah, 2004; 2005; 2007; 2008), sehingga politisi dan partai politik perlu merancang ulang strategi bersaing untuk memenangkan persaingan politik.
Marketing politik diyakini sebagai metode dan instrumen yang dapat membantu politisi dan partai politik untuk dapat menciptakan keunggulan bersaing (competitive advantage) dan memenangkan persaingan (e.g. Bauer,H.H, Huber,F & Herrmann,A. 1996; Butler & Collins, 1993; Kavanagh, 1995; Firmanzah, 2007).
Paradigma lama memenangkan pertarungan kekuasaan politik, terutama pemilu selama orde baru dengan pola represif sudah ketinggalan zaman. Perubahan sistem politik memberi peluang hadirnya cukup banyak partai politik dan individu sebagai calon kepala daerah sehingga jumlah partai yang beragam dan calon pemimpin politik yang banyak, secara langsung berimplikasi pada taktik dan strategi untuk memenangkan perebutan kekuasaan politik (Firmanzah, 2007).
Ilmu pemasaran dikenal sebagai sebuah disiplin yang menghubungkan produsen dengan konsumen dimana hubungan yang terjadi tidak hanya satu arah, melainkan dua arah sekaligus dan simultan (Firmanzah, 2008), sehingga produsen perlu memperkenalkan produknya kepada masyarakat, dimana semua usaha pemasaran dimaksudkan untuk meyakinkan konsumen agar melakukan pengambilan keputusan dengan melakukan pemilihan terhadap tawaran produknya.
Dalam perspektif pemasaran, ada hal yang menarik dalam proses politik, yaitu berlakunya logika pemasaran dalam ilmu politik yang bertumpu pada lahan demokrasi. Pada saat belum ada persaingan atau situasi persaingan tidak keras, maka pemasaran tidak atau belum terlalu dibutuhkan suatu perusahaan/kandidat. Pada saat situasi persaingan yang semakin keras, maka pemasaran menjadi suatu fungsi yang makin penting dan meningkat terus menjadi jiwa dari setiap unsur yang terlibat, sehingga pemasaran politik semakin menunjukkan urgensi dan relevansinya ketika dunia politik dituntut untuk lebih terbuka, transparan dan mampu berkompetisi secara sehat (Kartajaya dkk,1996).
Keterbukaan dan referensi informasi yang cukup gencar, memberi banyak pilihan bagi partisipan menentukan sikap dan pilihan-pilihan politiknya. Kompetisi politik meraih dukungan dan simpati partisipan juga sangat seru dan menarik. Berbagai pola dan strategi dilakukan termasuk digunakannya pendekatan dengan pemasaran politik (marketing politik) dimana, tujuan marketing dalam politik adalah membantu parpol atau konstituen untuk lebih baik dalam mengenal masyarakat yang diwakili atau menjadi target dan kemudian mengembangkan isu politik yang sesuai dengan aspirasi mereka, sehingga marketing yang selama ini dikembangkan dalam dunia bisnis dirasa semakin dibutuhkan oleh dunia politik (Firmanzah; 2008).
Konsep political marketing berangkat dari konsep makna/meanings. Bahwa pada dasarnya political marketing adalah serangkaian aktivitas terencana, strategis tapi juga taktis, berdimensi jangka panjang dan jangka pendek, untuk menyebarkan makna politik kepada para partisipan. Tujuannya adalah untuk membentuk dan menanamkan harapan, sikap, keyakinan, orientasi, dan perilaku partisipan. Perilaku partisipan yang diharapkan adalah ekspresi mendukung dengan berbagai dimensinya, khususnya menjatuhkan pilihan pada partai atau kandidat tertentu (Adman Nursal, 2004).
Strategi memang mutlak dibutuhkan bagi siapa saja yang ingin memenangkan persaingan (Kotler & Armstrong, 2004), termasuk dalam persaingan politik yang dikenal keras dan penuh intrik. Secara teori, organisasi hanya eksis selama organisasi bisa memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen sehingga studi perilaku konsumen menjadi kajian yang penting dalam bisnis (Kotler, 2005).
Pemahaman lebih lanjut terhadap kajian strategi pemasaran dalam bidang politik, terutama yang telah dilakukan diberbagai negara, mengkaitkan strategi politik dengan perspektif konsep pemasaran, karena diketahui terdapat pertalian yang cukup erat antara strategi bisnis dan politik (Newman, 1999 dan O’Cass, 2001).
Pemain dalam politik merupakan pihak yang melakukan bisnis nontradisional yang menyediakan ide-ide tidak berwujud untuk dipasarkan. Pengetahuan mengenai perilaku konsumen dapat digunakan untuk mengembangkannya, dimana para peneliti konsumen mengatakan bahwa masalah penting yang dihadapi masyarakat saat ini meliputi pilihan yang akan diambil konsumen ( Mowen & Minor, 2001).
Menurut Lock dan Harris (1996) terdapat beberapa karakteristik mendasar yang membedakan marketing politik dengan marketing dalam dunia bisnis. Perbedaan ini berasal dari kenyataan bahwa kondisi pemilihan politik memang berbeda dengan konteks dunia usaha pada umumnya. Diantaranya dilakukannya pemilihan atau keputusan secara bersamaan pada satu hari yang sama (serentak). Pada saat transaksi tidak terdapat harga secara langsung sehingga membedakan konsep pembelian dalam politik dengan dunia usaha. Produk politik adalah produk tidak nyata (intangible) yang sangat komplek sehingga sulit untuk dianalisis secara keseluruhan. Brand dan image politik pada umumnya sudah melekat dengan keberadaan partai ataupun individu sehingga mengubah brand sangatlah sulit.
Pendekatan pemasaran dalam politik ini termasuk hal yang baru, tetapi partai politik atau pihak yang menggunakan pola pemasaran politik, secara realitas mampu meraih dukungan maksimal dan sifnifikan. Di Indonesia sendiri, kajian pemasaran dalam politik masih sangat terbatas, beberapa hasil tulisan pemasaran politik pada jurnal-jurnal ilmiah di Indonesia baru bergerak pada ranah perspektif dari pemasaran politik dengan mengadopsi dan mempelajari pemasaran politik dari negara lain yang sudah lebih dahulu melakukannya.
Pemasaran politik mengacu pada konsep pemasaran yang sudah cukup klasik yakni pola pendekatan 4P (Produk, Price, Promosi, Place) dan Segmen, seperti pendapat O’Leary dan Iredale (1976) dengan memberi penekanan pada penggunaan bauran pemasaran (marketing mix) untuk memasarkan partai politik. Dengan menganut pola ini bagi pemain politik dan pihak yang menerapkannya diyakini akan mampu menawarkan alternatif strategi untuk meraup dukungan politik terutama pada kecenderungan untuk memilih.
Faktor segmen dan pemetaan pemilih juga menjadi sesuatu yang penting untuk memenangkan persaingan. Pemetaan pemilih sangat perlu dipahami dan diketahui. Terdapat beragam teknik dan metode bagi partai dan kontestan untuk mengklasifikasi dan mengelompokkan masyarakat. Metode dan teknik ini berangkat dari suatu premis bahwa setiap individu cenderung untuk berinteraksi dan berhubungan dengan orang-orang yang berbagi karakteristik sama.
Kebersamaan orang-orang yang berbagi karakteristik inilah yang membentuk suatu kelompok masyarakat. Mereka memiliki ciri, sifat, kondisi psikologis, kepentingan, harapan, permasalahan, dan tujuan hidup yang relatif sama dibandingkan dengan orang-orang yang tidak terdapat dalam kelompok mereka. Masing-masing kelompok masyarakat pemilih sangat perlu dipahami agar diketahui kecenderungan responnya terhadap tawaran bauran pemasaran pelaku politik.
Pembagian karakeristik berdasarkan kelompok wilayah didasarkan pada pendapat Wring (1997) yang menyatakan bahwa kondisi suatu daerah sangat berbeda dengan daerah lainnya.
Smith dan Saunders (2002) menekankan pentingnya penggunaan segmentasi untuk memetakan keinginan dan kebutuhan pemilih, sehingga kandidat bisa memposisikan dirinya secara tepat, termasuk studi yang dilakukan Lipset (2001) dalam Sherman (2002) yang mengatakan bahwa aspek geografis juga mempunyai hubungan dengan perilaku pemilih yang menunjukkan hasil bahwa rasa kedaerahan mempengaruhi dukungan seseorang terhadap partai politik.
Selain segmen, parpol maupun kandidat presiden, gubernur, bupati, atau walikota juga harus membangun image dan kesan kepada pemilih. Proses pembentukan image dalam dunia bisnis, kurang lebih sama ketika partai politik atau sosok calon pemimpin politik ingin memenangkan pertarungan politik.
Neffenneger (1989) membuat model proses pemasaran politik yang memperlihatkan bagaimana bauran pemasaran politik ditujukan secara langsung kepada segmen-segmen yang dimaksud.
Image (yang merupakan harga dalam politik) bagi partai politik dan individu merupakan salah satu strategi untuk melihat kesan dan citra yang melekat pada orang. Kemampuan membangun image dalam kurun waktu panjang, akan memberi bayak manfaat kepada parpol atau individu ketika bertarung memperebutkan dukungan politik dalam pemilukada atau pemilu.
Dalam hal ini bisa diamati image yang dibangun oleh Anas Urbaningrum pada pertarungan politik melalui perang strategi pemasaran politik adalah dengan pencitraan yang tenang, santun dan bijaksana serta gaya komunikasi politik yang memberi ruang yang lebih luas bagi jajaran partai tingkat cabang dan daerah (sebagai partisipan/pemilih) untuk menyampaikan ide dan gagasan sebagai salah satu manfaat yang diinginkan dalam transaksi politik sehingga mendapat respon yang positif.
Proses demokrasi yang merubah sistem paemilihan umum secara langsung terutama dalam pemilihan kepala daerah baru disahkan pada tahun 2005 dengan peraturan pemerintah NO.6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pada daerah kota dan kabupaten di Indonesia sendiri baru dimulai pada bulan Juni 2005 di Kabupaten Kutai dan untuk daerah setingkat Provinsi dilakukan pada Pemilukada Sumatera Barat pada 2006.Berangkat dari sini maka Pemilukada dilakukan secara langsung, hal ini diperlukan agar rakyat sendiri yang menentukan pilihannya sehingga diharapkan mampu meningkatkan kualitas pelaksanaan otonomi daerah dan sekaligus kualitas demokrasi tentunya.
Ketika parpol dan kandidat calon presiden ikut bertarung dalam Pemilu 2004 maupu 2009 dengan sistem langsung, ada yang menggunakan pemasaran politik sebagai salah satu strategi guna meraih dukungan pemilih. Pola baru ini ternyata mendapat respon positif dari masyarakat. Tim sukses dan kandidat meletakkan jualan politik pada kacamata bisnis, hasilnya menunjukkan parpol dan sosok yang melakukan pemasaran politik itu meraih dukungan yang sangat signifikan dan memenangkan pertarungan politik tersebut.
Ditinjau dari Marketing, ada hal yang menarik untuk dicermati dalam proses Politik tersebut, yaitu berlakunya logika pemasaran terjadi pada ruang politik. Penggunaan ilmu pemasaran dalam pasar politik disebut Political Marketing/ pemasaran politik yang didefinisikan oleh Dominic Wring, sebagai partai atau kandidatnya yang menggunakan analisis lingkungan dan riset opini untuk menghasilkan dan mempromosikan sebuah penawaran kompetitif yang akan membantu mewujudkan tujuan organisasi dan kepuasan kelompok dari para pemilih dalam transaksi untuk pilihan mereka.
Pada konteks political marketing ini, para kandidat dapat mengaplikasikan marketing concept dalam proses politiknya, untuk mengadaptasi dan dapat memuaskan kebutuhan pemilih. Penting bagi kandidat bahwa mengetahui isu-isu lokal dapat menjadi konsep kebijakan yang akan dijual ke pasar yaitu para pemilih (masyarakat).
Visi, misi kandidat dapat dibuat berdasarkan isu-isu lokal tersebut. Visi, misi kandidat Pemilukada ini juga merupakan produk politik (political product). Mengetahui masalah-masalah seperti transparansi, akuntabilitas, tata kota, pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat akan menjadi isu-isu sentral yang menarik dibicarakan. Dalam menjelaskan visi, misi serta isu-isu sentralnya, kandidat Pemilukada dapat menggunakan promosi politik (political promotion) melalui media, seperti periklanan, hubungan masyarakat, penyiaran radio (dialog interaktif) ataupun surat langsung yang sesuai dengan karakteristik-karakteristik para pemilih (masyarakat) setempat.
Saluran distribusi politik (political distribution) dalam konteks pemasaran, disini dapat digunakan local work atau jaringan yang dimiliki kandidat Pemilukada pada tingkat kecamatan sampai kelurahan, kemudian leader tour dalam bentuk pertemuan-pertemuan tatap muka antara kandidat (tidak diwakili pihak lain) dengan masyarakat yang berada disetiap kecamatan wilayah tersebut.
Ada tiga dimensi untuk menilai harga politik (Political Price). Harga ekonomi, yang didasarkan pada komunitas masyarakat yang dijadikan target oleh organisasi kandidat atau politik. Harga nasional menjelaskan bahwa masyarakat akan memperhatikan kandidat dari kemampuannya, pertimbangan / hasil keputusan dan pribadi yang layak untuk dipercaya. Harga psikologi dalam pengertian harga politik ini berdasarkan dari harga observasi, bahwa sebuah penggunaan hak suara adalah sebuah pembelian psikologi atau ingin mendapatkan rasa aman.
Keunikan political price disini yaitu harus dipahami sebagai pengurangan opportunity cost yang dirasakan oleh pasar pemilih. Dianggap sebagai hambatan yang harus dicegah dengan mengarahkan perilaku pemilih melalui keterlibatan politik dan proses penggunaan hak suara sebagai suatu kewajiban.
Bukti bagaimana political marketing yang telah berjalan secara signifikan terlihat pasca Pemilu 1999, sejak menjadi pemenang Pemilu 1999 para pemimpin Parpol, tiba-tiba sering menunjukkan kepeduliannya pada korban bencana alam atau musibah di segala pelosok Indonesia. Diiringi sekelompok juru publisitasnya, mereka berlomba-lomba mendatangi lokasi berbagai musibah. Suatu kepedulian yang sebelum Pemilu 1999 tidak pernah diketahui publik.
Diharapkan political marketing yang bersifat learning relationship (saling mempercayai dan egalitarian) dapat membantu masyarakat dalam Pemilukada maupun pemilu legislative dan Presiden, sehingga mendapatkan pemimpin yang mampu menjalankan kualitas “demokrasi substansial”, bukan sekedar demokrasi prosedural dan juga demokrasi elektoral dimana di Indonesia sendiri, needs dan wants masyarakat sebagian besar masih pada kebutuhan dasar (basic needs), sehingga masih terjadi praktik uang dan jual beli suara yang terjadi di lapisan bawah yang justru merupakan lapisan terbesar yang ada sehingga materi kebutuhan pokok dan janji-janji muluk yang bersifat short-term lebih diterima (Firmanzah, 2004).
Butler dan Collins (2001) melihat adanya peningkatan volatilitas atau semakin berubah-ubahnya (volatility) perilaku pemilih. Hal ini membuat keberpihakan pemilih menjadi lebih sulit diduga. Tidak stabilnya perilaku pemilih sangat dipengaruhi oleh semakin pudarnya ikatan ideologis pemilih dengan partai atau kontestan pemilu, berakhirnya perang ideologis dan meningkatnya materialisme kapitalistik menyebabkan pemilih dewasa ini cenderung pragmatis, cenderung memilih partai atau kandidat yang mampu menawarkan produk politik yang lebih baik dibandingkan pesaing (Firmanzah, 2008).
Partai politik atau kandidat yang memenangkan pemilihan umum hanyalah partai yang menurut persepsi pemilih, relatif menawarkan sesuatu yang berbeda dan lebih baik dibandingkan yang lain. Untuk bisa berbeda dan lebih baik, dunia politik sebagai praktik sosial harus membuka diri terhadap pendekatan-pendekatan baru.
Dinamika dan interaksi sosial memang kompleks, sehingga dibutuhkan banyak sekali pendekatan untuk memperoleh gambaran yang lebih menyeluruh tentang cara berfungsinya masyarakat. Marketing diyakini dapat menjembatani dua pihak yang saling berinteraksi, yaitu partai dan masyarakat atau kandidat dan masyarakat.
Menjual produk politik berbeda dengan produk komersial. Beberapa karakteristik tentang produk politik yaitu merupakan produk yang tidak nyata, terkait dengan sistem nilai, ada janji dan harapan akan masa depan, terdapat visi yang bersifat atraktif, hasilnya lebih bisa dinikmati dalam jangka panjang, tidak pasti dan bisa ditafsirkan bermacam-macam (O’Shaugnessy, 2001).
Produk (product) yang ditawarkan institusi politik merupakan sesuatu yang kompleks, di mana pemilih akan menikmatinya setelah sebuah partai atau seorang kandidat terpilih (Niffenegger, 1989). Produk politik dijabarkan dalam tiga kategori, (1) party platform (platform partai), (2) past record (catatan tentang hal-hal yang dilakukan di masa lampau), dan (3) personal characteristic (ciri pribadi) (Niffenneger,1989).
Promosi politik dibahas pada sebagian besar literatur dalam marketing politik adalah sebagai cara sebuah institusi politik dalam melakukan promosi ide, platform partai dan ideologi selama masa kampanye, sehingga perlu digarisbawahi bahwa promosi politik tidak hanya terjadi selama periode kampanye saja. Pengukuran promosi politik dilakukan dengan menilai efektivitas dan kesesuaian berbagai cara yang digunakan untuk mencapai tujuan melalui advertising dan media, publikasi dan media, even debat, slogan/jargon kampanye, penggunaan selebritis dan konsistensi citra (Niffenenneg, 1989).
Aktivitas promosi harus dilakukan terus-menerus dan permanen dan tidak hanya terbatas pada periode kampanye saja (Butler & Collins, 2001), ini sering di analogikan sebagai ‘curi start’ melalui kegiatan sosial untuk menarik perhatian massa dan biasanya dimanfaatkan partai atau kandidat yang memiliki banyak dana. Salah satu cara yang paling efektif dalam promosi politik adalah dengan selalu memperhatikan masalah penting yang dihadapi oleh komunitas dimana institusi politik berada.
Tidak jarang institusi politik bekerja sama dengan sebuah agen iklan dalam membangun slogan, jargon dan citra yang akan ditampilkan (Wring, 1996). Selain itu, pemilihan media perlu dipertimbangkan karena idak semua media tepat sebagai ajang untuk melakukan promosi, sehingga harus dipikirkan dengan matang media apa yang paling efektif dalam mentransfer pesan politik.
Harga dalam marketing politik mencakup banyak hal, mulai ekonomi, psikologis sampai citra nasional (Niffenegger, 1989). Harga ekonomi meliputi semua biaya yang dikeluarkan institusi politik selama periode kampanye. Dari biaya iklan, publikasi, biaya ‘rapat-akbar’ sampai ke biaya administrasi pengorganisasian tim kampanye.
Harga psikologis mengacu pada harga persepsi psikologis, misalnya apakah pemilih merasa nyaman dengan latar belakang- etnis, agama, pendidikan dan lain-lain- seorang kandidat. Harga image nasional berkaitan dengan apakah pemilih merasa kandidat tersebut bisa memberikan citra positif suatu bangsa dan bisa menjadi kebanggaan nasional atau tidak.
Tempat (place) berkaitan erat dengan cara hadir atau distribusi sebuah institusi politik dan kemampuannya dalam berkomunikasi dengan para pemilih atau calon pemilih (Niffenegger, 1989). Kampanye politik memang harus menyentuh segenap lapisan masyarakat. Hal ini bisa dicapai dengan melakukan segmentasi publik (Niffenegger, 1989; Smith & Hirst, 2001).
Sistem distribusi diartikan sebagai suatu jaringan yang berisi orang dan institusi yang terkait dengan aliran produk politik kepada masyarakat secara luas (O’Shaughnessy, 1995), sehingga masyarakat dapat merasakan dan mengakses produk politik dengan lebih mudah. Distribusi produk politik sangat terkait erat dengan mekanisme jangkauan dan penetrasi produk politik sampai kedaerah dan pelosok. Pemilihan media, kunjungan partai politik atau kontestan politik kedaerah-daerah juga bisa dikategorikan dalam distribusi politik.
Dalam penelitian pemasaran politik di Indonesia, sebagian besar kajian yang dilakukan adalah untuk melihat berbagai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku partisipan (voter behavior) dalam menentukan pilihannya dan belum melihat pada kontribusi ilmu pemasaran dalam strategi persaingan politik tersebut. Dari riset faktor-faktor perilaku juga ditemui banyak variasi hasil untuk setiap daerah riset yang berbeda.
Pada diskusi "Peran dan Kontribusi Marketing Politik Dalam Pemilu 2009" dan bedah buku "marketing politik" karya Firmanzah, staf pengajar Fakultas Ekonomi UI di Jakarta, Kamis (25/07), mengatakan terdapat benang merah bahwa kalangan parpol dan para kandidat yang akan bertarung memperebutkan jabatan publik perlu mendalami pemasaran (marketing) politik sebagai strategi alternative mengkomunikasikan pesan yang efektif kepada calon pemilih.
Dhakidae seorang peneliti senior dari harian Kompas pada diskusi itu mengatakan bahwa inti dari pemasaran politik itu adalah mengemas pencitraan, publik figur dan kepribadian seorang kandidat yang berkompetisi dalam kontes Pemilu kepada masyarakat luas yang akan memilihnya dan menurutnya "Marketing politik ini merupakan metode baru yang berkembang dalam dunia politik,"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar