Pekanbaru, 29 Maret 2009
Hari ini aku ngak ada kegiatan, hanya menyelesaikan urusan rumah dan bermain dengan anak2. Akhir bulan emang bukan waktu yang pas (terutama untuk kantong) buat ajak anak2 jalan2 keluar rumah...namanya juga kota besar, setiap keluar rumah pasti diiringi oleh mengalirnya rupiah.
Sambil nemanin anak2 bermain di kamar mereka, aku melihat sekeping uang Rp.25,- duh..anak2 sekarang, uang kok dibiarin...eh..waktu kutanyain apa jawab mereka...susah ma..ngak bisa beli apa2..lagian ngak diterima lagi untuk jajan.
Kok ya..tiba2 aku keingat sama uang logam lainnya, sekeping uang Rp.5,- yang pernah membuat aku menangis.. Kalau tidak salah, saat itu aku masih duduk dibangku SMP (sekitar tahun 84 atau 85).
Sejak smp aku memang sudah suka membaca majalah kartini yang menjadi langganan di rumahku, rubrik apa saja aku baca. Rubrik yang paling aku sukai adalah "setetes embun" yang diasuh oleh Titi Said. Nah..waktu itu aku membaca rubrik tentang perbedaan nilai uang Rp.5,- dan bagaimana sebenarnya rasa empati bisa membuat kita mampu berbagi tanpa mengurangi apa yang kita miliki.
Rubrik itu berkisah tentang seorang pedagang daun pisang dan seorang ibu2 di pasar beringharjo-yogyakarta. Saat itu si ibu penjual sudah kelihatan lemas karena sejak pagi sampai jam 11 siang belum ada satu ikatpun jualannya yg laku. lalu datanglah si ibu yang bermaksud membeli 2 ikat daun pisang . Harga yang ditawarkan adalah Rp.150,- untuk 2 ikat daun pisang. ibu pembeli yang kelihatan cukup senang ngotot menawar Rp.5,- sehingga mengharga 2 ikat daun itu Rp. 145,-
Penjual daun pisang yang sudah mbah2 mencoba mengetuk hati si ibu dengan mengatakan bahwa selisih harga itu adalah bagian dari keuntungannya yang tidak seberapa, tapi si ibu tetap menawar dan akhirnya sipenjual daun pisangpun menerima ...matahari sudah semakin tinggi, alhamdulillah ini bisa jadi pengisi perut keluargaku hari ini..gumamnya.
Transaksi terjadi, 2 ikat daun pisang berpindah tangan, si ibu menyorongkan uang Rp. 150,- dan menunggu kembalian Rp.5 dari si mbah. ketika sekeping uang Rp,5 itu diterima si ibu, entah kenapa uang tersebut terjatuh...menggelinding masuk kedalam selokan kotor...
dialog apa yang terjadi??:
ibu2 pembeli : yah..jatuh deh...(lalu pergi tanpa terlihat sedih)
mbah : coba ibu tadi tidak nawar, uang itu bisa untuk menambah makan keluarga kami.....
Aku terenyuh sekali membaca rubrik tersebut(plus air mata)...betapa berbedanya nilai uang bagi setiap orang yang ada..seandainya kita bisa tau bahwa apa yang tidak berarti bagi kita merupakan sesuatu yang berarti buat orang lain, pasti kita akan memilah2 dgn bijak untuk ngotot mempertahankan sesuatu.
Sure...sejak itu aku ngak pernah mau menawar apapun ketika berbelanja sayur mayur, rempah atau apapun pada pedagang kecil..aku selalu teringat dengan kisah diatas, manatau selisih harga yg tidak berarti bagiku adalah sesuatu yang sangat berarti buat si penjual......
salut banget dech buk...tapi penjual sekarang pintar pintar buk ckckckckcc
BalasHapusKisah yg menginspirasi kita semua sebagai pembeli pedagang kecil. Mudah mudahan kita bisa menerapkan hal itu dalam kehidupan kita sehari hari. Amien
BalasHapusKisah yg menginspirasi kita semua sebagai pembeli pedagang kecil. Mudah mudahan kita bisa menerapkan hal itu dalam kehidupan kita sehari hari. Amien
BalasHapus