Mana ada perang tak berdarah? ...
Bisa....
Kalau terpaksa harus berdarah?...
Sedikitlah...jangan bikin mati....
Tujuan perang tercapai dalam tataran :
1). Memenangkan peperangan
2). Kalah terhormat dan masih bisa menyusun kekuatan untuk perang berikutnya dengan peluang kemenangan yang lebih besar.
3). Mundur dan menutup ambisi untuk berperang.
Kesadaran akan akhir perjuangan menjadi motivasi kita untuk terus berbuat.... lakukan, evaluasi, lakukan, evaluasi...suatu siklus yg tak putus sampai kita angkat bendera putih karena berpindah pada tujuan hidup lainnya.
Perang yang dimaksud penulis disini adalah perang politik dalam artian perebutan kekuasaan secara politis, baik dalam tataran pilkada atau pemilu legislatif.
Subjek disini adalah calon konstituen politik.
PEMAHAMAN TERHADAP PERANG POLITIK
Yang namanya perang tentu memposisikan diri sebagai pihak yang siaga dengan kemungkinan konfrontasi atau kolaborasi.
Pelaku haruslah mampu untuk berpikir taktis dan strategis, karena kunci kemenangan terbesar politik adalah pada kesiapan mental untuk bertindak cerdas dan cepat dalam mengambil keputusan.
Sekali kita mendeklarasikan diri untuk terlibat perang politik, hindari sifat pesimis.
Sifat optimis tidak datang dari langit, tetapi
orang yang punya sifat optimis (memperkirakan sesuatu yang baik akan terjadi) akan hidup lebih lama, berjuang lebih keras, bahkan lebih sehat dibandingkan dengan orang yang pesimis (orang yang suka memperkirakan sesuatu yang buruk akan terjadi), menurut pernyataan dari para ilmuwan Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat, awal Maret 2009 (Andriewongso.com).
Sifat optimis adalah suatu akumulasi dari kesadaran pada potensi diri, apa maknanya? Keoptimisan muncul ketika kita harusnya sudah tahu seberapa besar daya peluru kita.
Dalam perang politik, daya peluru calon bisa bersumber pada:
1-Modal
2-Dukungan keluarga
3-Dukungan politik
4-Akses data dan informasi
5-Kekuasaan dan etika
6-Kepopuleran/citra diri
7-Dukungan sosial (putra daerah, tokoh agama, aktivis masyarakat, pembela kaum marjinal dan lainnya yang diterima lingkungan sosial)
8-Pemahaman strategi
9-Mental bersaing
10-Takdir (do'a)
MENGOPTIMALKAN PELURU POLITIK
Optimalisasi merupakan hal yang harus menjadi inti perjuangan politik. Optimalisasi berarti kemampuan untuk mencapai titik hasil yang paling mungkin dari peluru politik yang kita miliki.
Secara internal, optimalisasi berjalan melalui kemampuan kita meningkatkan titik keberhasilan dan memperkecil titik kegagalan.
Optimalisasi Modal Politik :
Modal politik diartikan sebagai dana dalam berpolitik. Modal politik dalam besaran apapun harus dipandang memiliki keterbatasan. Jika kandidat A punya modal 1 milyar, sedangkan kandidat lain punya modal 1,1 milyar maka dengan belanja politik yang dianggap sama modal 1 milyar menjadi keterbatasan. Lantas bagaimana kalau berbicara optimalisasi? Bisa saja penggunaan modal 1 milyar bisa lebih optimal daripada modal yang lebih besar.
Ada berbagai cara untuk untuk meningkatkan optimalisasi penggunaan modal politik, diantaranya :
1). Memahami dengan jelas belanja politik
2). Memahami penyedia belanja politik
3). Menetapkan pengambil keputusan dan penanggungjawab belanja politik
4). Fleksibilitas yang bertanggungjawab
Belanja politik secara garis besar dapat dijabarkan pada kontinum waktu proses politik. Kata kunci waktu membawa konsekuensi pada mahal atau murahnya dana yang harus kita keluarkan untuk berbelanja politik.
Ada satu statement yang layak dipertimbangkan, "semakin lama persiapan yang dilakukan akan semakin murah biaya yang dikeluarkan dalam meningkatkan nilai politik seorang pelaku politik". Kata kunci statement ini adalah strategi dan konsistensi (akan diulas pada bagian lain).
Apa saja yang dipahami sebagai belanja politik?, diantaranya adalah biaya perolehan perahu politik, biaya konsolidasi organisasi politik, biaya operasionalisasi tim sukses, biaya kampanye, biaya humas dan media, biaya hukum, biaya manajemen (termasuk konsultan). Biaya ini bisa dijabarkan lebih jelas secara proporsional sesuai dengan jangka waktu persiapan dan mekanisme pelaksanaan.
Pahami juga penyedia belanja politik serta aturan yang jelas untuk mengakses, tetapkan pihak yang jelas untuk mengambil keputusan pembelanjaan ini (dengan kriteria memahami, bisa mengambil keputusan dan informatif, ini bisa dilakukan oleh orang yang dipercaya atau pelaku sendiri), terakhir fleksibilitas yang bertanggungjawab harus dijadikan prioritas dalam hal ini karena politik adalah dinamika sosial yang harus dievaluasi dan dimaknakan dengan cepat dan tepat.
Dr. Hj. Alvi Furwanti Alwie, SE, MM
Doktor Pemasaran Politik dan Staff Pengajar FE Universitas Riau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar